Selasa, 05 April 2011

STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA

STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA
Struktur masyarakat Indonesia di tandai oleh dua ciriny yang bersifat unik. Secara horizontal, ia di tandai oleh kenyataan adanya kesatuan- kesatuan social berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa, perbedaan – perbedaan suku-bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat istiadatserta perbedaan –perbedaan kedaerahan. Secara vertical, struktur masyarakat Indonesia dintandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertical antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Untuk tidak berbicara terlalu samar-samar, keduanya akan kita bicarakan secara lebih mendalam.
Perbedaan – perbedaan suku bangsa, agama, adat dan kedaearahan seringkali disebut sebagai cri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula sekali diperkenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesiapada masa Hindia-Belanda. Konsep masyarakat majemuk sebagaimana yang banyak dipergunakan oleh ahli-ahli ilmu kemasyarakatan dewasa ini memang merupakan perluasan dari konsep Furnivall tersebut. O
Masyarakat Indonesia pada masa hindia –belanda , demikian menurut Furnivall, adalah merupakan suatu masyarakat majemuk, yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebioh elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama laian didalam suatu kesatuan politik. Sebagai masyarakat majemuk, masyarakat Indonesia disebut sebagai suatu tipe masyarakat daerah tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras.
Masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan terdiri elemen-elemen yang terpisah satu sama lain oleh karena perbedaan ras, masing-masing lebih merupakan kumpulan individu- individu daripada sebagai suatu keseluruhan yang bersifat oganis, dan sebagai individu kehidupan social mereka tidaklah utuh.
Didalam kehidupan ekonomi, tidak adanya kehendak bersama tersebut menemukan pernyataannya didalam bentuk tidak adanya permintaan social yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat, setiap masyarakat politik, demikian menurut Furnivall, dari kelompok nomad sampai bangsa yang berdaulat, berangsur-angsur melalui suatu periode waktu tertebtu membentuk peradaban dan kebudayaannya sendiri : membentuk kesenianya sendiri, baik dalam bentuk sastra, seni lukis, maupun music, serta membentuk perlbagai kebiasaan didalam kehidupan sehari-hari: sebagian daripadanya berupa terbetuknya system pendidikan informal dengan mana tiap anggotanya tersosialisir sebagai anggota dari masyarakat tersebut.
Didalam suatu masyrakat majemuk seperti halnya dengan masyarakat Indonesia pada masa Hindia–Belanda, permintaan masyarakat tersebut pada masa Hindia-Belanda, permintaan masyarakat tersebut tidaklah terorganisir, melainkan bersifat seksional, dan tidak permintaan social yang dihayati bersama oleh semua elemen masyarakat.
Suatu masyarakat majemuk, demikianlah apa yang dapat kita simpulkan dari konsepsi Furnivall, adalah suatu masyarakat dalam mana system nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan social yang menjadi bagian-bagianya adalah sedemikian rupa sehingga para anggotanya kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Suatu masyarakat, adalah bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara structural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse. Masyarakat yang demikian di tandai oleh kurang berkembangnya system nilai atau consensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat, oleh berkembangnya system nilai dari kesatuan-kesatuan social yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuknya yang relative murni, serta oleh sering timbulnya konflik-konflik social, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya intergrasi dan saling ketergantungan di antara kesatuan-kesatuan social yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuknya yang relatif murni, serta oleh sering timbulnya konflik-konflik social, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan saling ketergantungan di antara kaesatuan-kesatuan social yang menjadi bagian-bagiannya. Clifford Geertz berpendapat masyarakat majemuk adalah merupakan masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub system yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing sub system terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial.
Van den Berghe menganggap masyarakat majemuk tidak dapat digolongkan begitu saja ke dalam salah satu di antara dua jenis masyarakat menurut model analisis Emile Durkheim. Suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, akan tetapi sekaligus juga tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki diferensiasi atau spesialisasi yang tinggi. Yang disebut pertama merupakan suatu masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam berbagai-bagai kelompok yang biasanya merupakan kelompok-kelompok berdasarkan garis keturunan tunggal, akan tetapi memiliki struktur kelembagaan yang bersifat homogeneus. Yang disebut kedua, sebaliknya, merupakan suatu masyarakat dengan tingkat diferensiasi yang tinggi dengan banyak lembaga yang bersifat komplementer dan saling tergantung satu sama lain.
Didalam artian yang demikian itulah, maka masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bersifat majemuk. Hanya saja perlu kita sadari, bahwa berbeda dari Furnivall yang mengartikan pluralitas masyarakat Indonesia didalam konteks masyarakat colonial yang membedakan golongan-golongan Eropa, Tionghoa, dan golongan Pribumi, maka pluralitas masyarakat Indonesia sesudah masa revolusi kemerdekaan harus dimengerti di dalam konteks perbedaan-perbedaan internal di antara golongan pribumi.
Indonesia terletak ditengah-tengah lalu-lintas perdagangan laut melalui kedua samudera tersebut, maka masyarakat Indonesia telah sejak lama sekali memperoleh berbagai-bagai pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui para pedagang asing. Pengaruh yang pertama kali menyentuh masyarakat Indonesia berupa pengaruh kebudayaan Hindia dan Budha dari India sejak 400 tahun sesudah Masehi. Hinduisme dan Budhaisme, pada waktu itu tersebar meliputi daerah yang cukup luas di Indonesia, serta lebur bersama-sama dengan kebudayaan asli yang telah hidup dahulu sebelum itu. Namun demikian terutama di pulau Jawa dan di pulau Balilah pengaruh agama Hindu dan Budha itu tertanam dengan kuatnya sampai saat ini.
Pengaruh kebudayaan islam mulai memasuki masyarakat Indonesia sejak abad ke -13, akan tetapi baru benar-benar mengalami proses penyebaran yang meluas sepanjang abad ke-15 pengaruh agama islam terutama memperoleh tanah tempat berpijak yang kokoh di daerah-daerah dimana pengaruh agama Hindu dan Budha tidak cukup kuat.
Pengaruh kebudayaan Barat mulai memasuki masyarakat Indonesia melalui kedatangan bangsa Portugis pada permulaan abad ke-16. Kedatangan mereka ke Indonesia tertarik oleh kekayaan rempah-rempah di daerah kepulauan Maluku, suatu jenis barang dagangan yangsedang laku keras di Eropa pada waktu itu.
Hasil final daripada pengaruh kebudayaan tersebut kita jumpai dalam bentuk pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Di luar Jawa, hasilnya kita lihta pada timbulnya golongan islam modernis teruatama di daerah-daerah yang strategis berada di dalam jalur perdagangan internasional pada waktu masuknya reformasi agama islam, golongan islam konservativetradisionalist di daearah-daearah pedalaman, dan golonganKristen didaerah-daearah Maluku, NTT, Sulawesi Utara, Tapanuli dan daerah lainya.
Pemerintah Hindia-Belanda yang berlangsung tidak kurang dari 350 tahun itu bukannya meniadakan kontras antara Jawa dan Luar Jawa, melainkan membiarkanya demikian. Sebagaimana kita ketahui bersama, maka sejak abad ke 18 tekanan daripada perdagangan Belanda berpindah dari daerah Maluku ke pulau jawa. Sejak saat itu pengawasan pemerintah Hindia Belanda terhadap daearah-daerah diLuar Jawa menjadi lebih bersifat tidak langsung
Perbedaan-perbedaan suku-bangsa, agama, dan regional yang telah kita uraikan di atas merupakan dimensi-dimensi horizontal daripada struktur masyarakat Indonesia. Sementara itu dimensi vertical struktur masyarakat Indonesia yang menjadi semakin pentingt artinya dari waktu ke waktu, dapat kita saksikan dalam bentuk semakin tumbuhnya polarisasi berdasarkan kekuatan politik dan kekayaan. Dengan semakin meluasnya pertumbuhan sector ekonomi modern beserta organisasi administrasi nasional yang mengikutnya, maka kontras pelapisan social anatara sejumlah besar orang-orang yang secara ekonomis dan politis berposisi lemah pada lapisan bawah, dan sejumlah kecil orang-orang yang relative kaya dan berkuasa pada lapisan atas menjadi semakin mengeras. Proses tumbuhnya ketimpangan yang demikian mempunyai akranya di dalam struktur ekonomi Indonesia pada zaman Hindia-Belanda, yang oleh Boeke digambarkan sebagai dual economy.
Di dalam struktur ekonomi yang demikian, dua macam sector ekonomi yang sangat berbeda sekali wataknya berhadapan satu sama lain. Sector yang pertama berupa struktur ekonomi modern yang secara komersial lebih bersifat canggih. Sector yang kedua berupa struktur ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional, yang menurut teori ekonomi modern merupakan struktur ekonomi yang berorientasi kepada sikap-sikap konservatif, dibimbing oleh motif-motif untuk memelihara keamanan dan kelanggengan system yang sudah ada, tidak berminat pada usaha-usaha untuk memperoleh keuntungan dan penggunaan sumber-sumber secara maksimal, lebih berorientasi pada motif-motif untuk memenuhi kepuasan dan kepentingan-kepentingan social daripada menanggapi ransangan-ransangan dari kekuatan internasiona, serta kurang mampu mengusahakan pertumbuhan perdagangan secara dinamis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saran dan Komentar ada kami tunggu........